Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Air Mata di Uncak Sungai Melahui

Air Mata di Uncak Sungai Melahui

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Kabut pagi masih menari di antara rimbunnya pepohonan, ketika suara burung enggang bersahut-sahutan memecah kesunyian di lembah Sungai Melawi. Di sebuah kampung kecil yang terhimpit di antara perbukitan dan hutan perawan, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Tingang. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara—bocah kurus dengan sorot mata yang menyimpan mendung kehidupan.

Tingang lahir di sebuah rumah betang yang terletak di hulu salah satu anak Sungai Melawi, di wilayah yang dikenal sebagai Uncak Sungai Melahui. Di kampung tersebut, kehidupan mengalir perlahan, selaras dengan irama alam. Hutan lebat merangkul permukiman, sungai berliku mengalir tenang, dan ladang-ladang kecil menjadi sumber penghidupan masyarakat. Beberapa warga memperoleh penghasilan dari tambang emas milik penduduk keturunan Tionghoa. Mereka hanya menjadi buruh, bukan pemilik.

Sejak kecil, Tingang bagai bara dalam sekam: nyaris padam, tetapi menyala dalam diam. Tubuhnya lemah, sering demam, dan pikirannya kerap melayang ke dunia yang tidak dimengerti siapa pun. Ia kerap mengigau, menyebutkan hal-hal yang tak biasa. Kadang ia bercerita tentang perahu yang meluncur di atas daratan, atau batu raksasa yang mengejarnya tanpa henti.

Ketika menginjak usia sepuluh tahun, gangguan itu semakin menjadi-jadi. Ia seolah hidup dalam dua alam. Tidurnya bukanlah tempat beristirahat, melainkan lorong gelap penuh mimpi buruk. Ia sering menggigil di siang hari, meskipun matahari bersinar terik. Bagi masyarakat kampung, Tingang mulai dianggap berbeda. Sebagian mengatakan ia dirasuki, sebagian lain mengira ia terkena kutukan leluhur. Namun, kedua orang tuanya tetap sabar merawatnya, percaya bahwa Tuhan tidak pernah keliru memberi ujian.

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Pada suatu malam, Tingang kembali bermimpi dikejar oleh batu raksasa. Keesokan paginya, ia mengadu kepada ayahnya yang hanya mengangguk dengan wajah cemas. Ketika sore menjelang, kabar duka datang: nenek Tingang wafat. Tubuh Tingang yang masih lemah membuatnya tidak ikut ke pemakaman. Saat upacara berlangsung, ibunya secara tidak sengaja melihat salib kayu tua milik anak sulungnya yang telah wafat beberapa tahun sebelumnya. Ia terkejut saat menyadari bahwa nama baptis yang tertera pada salib itu adalah nama baptis milik Tingang.

Dalam tradisi Dayak Limbai, seorang anak diberi nama berdasarkan waktu pemotongan tali pusarnya. Namun setelah agama Katolik masuk pada tahun 1970-an, keluarga Tingang menjadi penganut yang taat. Semua anak mereka dibaptis dan diberi nama baru sesuai ajaran gereja. Rupanya, salib milik anak sulung yang telah lama wafat masih mencantumkan nama baptis yang kini digunakan oleh Tingang. Keluarga pun segera mengganti salib tersebut dan mengadakan doa bersama.

Sejak saat itu, mimpi-mimpi aneh Tingang lenyap bagai kabut pagi yang sirna oleh sinar mentari. Kesehatannya membaik, pikirannya jernih, dan ia mulai menjalani kehidupan sebagaimana anak-anak lainnya. Seolah beban dari alam gaib telah terangkat dari dirinya.

Itulah titik balik kehidupannya.

Di atas tanah merah kampungnya, Tingang menatap langit dengan tenang. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi langkah pertamanya telah dimulai. Ia berhasil menyelesaikan sekolah dasar pada tahun 1996—sebuah pencapaian besar bagi seorang anak dari kampung terpencil.

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Namun, tamat sekolah dasar bukanlah akhir. Ia masih mengingat pesan ayahnya yang sederhana tetapi sarat makna: “Sekolah, Nak. Meskipun kami tidak punya harta, kami ingin engkau punya masa depan.”

Di kampung yang hanya memiliki satu sekolah dasar, impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya nyaris mustahil. Namun, Tingang tidak menyerah. Ia bertekad melanjutkan ke sekolah menengah pertama yang berada di ibu kota Kabupaten Melawi. Saat itu, akses transportasi masih mengandalkan jalur air, sehingga pilihan terbaik adalah bersekolah di kota kabupaten.

Salah satu sosok yang menjadi pendorong semangatnya adalah Pak Serian, guru kelas enamnya. Dengan sabar dan penuh kasih, Pak Serian membisikkan harapan kepada murid-muridnya yang hidup dalam keterbatasan: “Pendidikan dapat mengubah nasib. Ia adalah tangga yang membawa kalian ke masa depan yang lebih baik.”

Ucapan itu tertanam kuat dalam hati Tingang. Ia sadar, jika menyerah sekarang, maka nasibnya akan sama seperti kebanyakan warga kampung: menjadi buruh di tambang emas milik orang lain. Sebaliknya, jika ia bertahan dan terus belajar, ia bisa membuka jalan baru—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi sesama.

Langkah demi langkah ia jalani dengan penuh tekad. Ia mulai terbiasa membantu kedua orang tuanya di ladang sepulang sekolah. Ia menukar tenaga dengan kebutuhan sekolah, serta mengumpulkan uang dari hasil menjual sawi ladang, pakis, dan getah karet.

Rumah Panjang, Luka Panjang

Namun, itu baru selembar kisah dari seorang anak sekolah dasar. Tingang masih polos dan lugu seperti anak kampung pada umumnya. Ia belum tahu apa yang akan dihadapinya di masa depan. Jalan hidupnya masih panjang dan penuh teka-teki.

Kisah Tingang belum berakhir.

Selamat mengikuti perjalanan Tingang selanjutnya…

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan