Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Cerita Dayak Dara Kumang

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Gendang bertalu-talu memecah dingin pagi di Alun-alun Taman Kelampiau. Dentumannya seperti jantung raksasa yang membangunkan bumi dari tidur. Di antara tenda-tenda yang bergoyang tertiup angin, aroma kopi dan rempah menyatu dengan semangat. Dua puluh sembilan keluarga sibuk menata kerajinan, makanan, dan kain tenun. Tapi di tengah keramaian itu, satu nama berbisik di telinga banyak orang: Amelia.

“Amelia, Si Dara Kumang Jelita,” gumam para ibu bangga. Tapi para gadis lainnya hanya tersenyum getir. Siapa yang tak kenal Amelia? Wajahnya bening, senyumnya damai, tutur katanya lembut seperti air di antara batu. Ia bukan sekadar cantik—ia adalah citra budaya yang hidup dalam tubuh seorang perempuan.

Tahun ini, seleksi Bujang Keling dan Dara Kumang digelar megah di Kantor Pusat CUKK. Gedung koperasi berubah jadi panggung budaya, penuh warna dan harapan. Dari berbagai kampung datang para pemuda—salah satunya Janggi, lelaki bersahaja yang tak membawa nama besar, tapi penuh percaya diri. Ia tidak menyilaukan, tapi matanya jujur. Satu-satunya yang berani menatap Amelia tanpa rasa minder.

Amelia pun melihatnya. Mereka tak bertemu lewat takdir dramatis, hanya lewat obrolan sederhana di tenda peserta—tentang arti tenun, kopi pahit, dan cerita-cerita dari kampung. Dari situlah benih itu tumbuh, diam-diam, seperti akar yang menjalar ke hati.

Namun panggung budaya bukan tempat untuk cinta tumbuh. Di sana, ada gelar, kamera, dan penilaian.

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Ketika Amelia dinobatkan sebagai Dara Kumang 2025, semua mata terpaku padanya. Gaun tenun ungu tua berkibar, langkahnya anggun, dan sorot lampu menegaskan bahwa ia memang ditakdirkan untuk berdiri di atas. Dari kejauhan, Janggi hanya tersenyum tipis. Ia tahu ini bukan panggungnya.

Malam itu, setelah sorak-sorai mereda, Amelia mendekatinya. Mereka duduk di bangku belakang kantor, ditemani suara sape yang samar dan wangi kayu basah.

“Aku dapat beasiswa,” bisik Amelia. “Ke Jawa. Studi budaya. Empat tahun.”

Janggi terdiam. “Kapan kau pergi?”

“Bulan depan.”

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Hening menyelinap. Janggi menatap tangan Amelia yang gemetar.

“Kau tahu aku mencintaimu?”

Amelia menunduk. “Aku juga. Tapi jika aku memilih cinta sekarang… aku mengingkari apa yang kuperjuangkan.”

“Kalau aku minta kau tetap di sini?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Matanya berkaca. “Maka kau tak mengenalku lagi.”

Rumah Panjang, Luka Panjang

Dan Janggi tahu, ia tak akan memintanya tinggal. Karena cinta bukan sangkar. Cinta adalah sayap.

Hari keberangkatan tiba. Bus tua parkir di terminal. Amelia berpamitan, memeluk ibunya, lalu berjalan pelan ke arah bus. Di dekat pohon mahoni, Janggi berdiri diam, seperti bayangan dari kenangan.

Mereka tak berbicara. Hanya saling tatap. Mata mereka menyimpan kata-kata yang terlalu berat untuk diucap.

Saat Amelia hendak naik, ia menoleh sekali lagi.

“Aku tak tahu apa yang terjadi nanti,” katanya. “Tapi kalau hatimu masih menyisakan namaku… kita akan bertemu lagi, entah kapan.”

Pintu bus menutup. Kendaraan itu beranjak pergi, meninggalkan debu, kenangan, dan satu hati yang setia berdiri di tempatnya.

Dan Janggi, meski tak menang lomba Bujang Keling, tahu satu hal:

Ia pernah dicintai seorang Dara Kumang.

Dan itu… tidak akan pernah hilang.

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan