Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Illustrasi Bujang dan Dayang
Ilustrasi Gambar Oleh AI

Hujan turun lagi sore itu, pelan dan tenang, seolah mengikuti irama kenangan yang terus mengalir di benak Bujang. Di bawah payung biru yang sudah agak pudar warnanya, ia berdiri di tepian danau, tempat yang menjadi saksi begitu banyak cerita masa kecilnya bersama Dayang.

Air danau beriak kecil, memantulkan warna kelabu langit yang mendung. Di seberang, pepohonan bergoyang pelan diterpa angin. Bujang  menatap kosong ke kejauhan, tapi pikirannya sibuk. Ia menunggu. Dayang bilang akan datang. Katanya, “Untuk terakhir kalinya sebelum aku pindah.”

Pindah. Kata itu seperti gemuruh haYangintar di dalam dadanya. Rasanya tak pernah ia benci satu kata seperti itu. Pindah berarti pergi. Dan pergi berarti… kehilangan.

Bujang dan Dayang bersahabat sejak mereka masih bocah ingusan yang senang berlarian di bawah hujan. Dulu, orang-orang menyebut mereka “sepasang anak hujan.” Di mana ada Dayang, di situ ada Bujang . Mereka tahu setiap sudut kota kecil itu. Tahu pohon mana yang bisa dipanjat, gang mana yang punya anjing galak, dan kapan waktu terbaik untuk menikmati senja di pinggir danau.

Seiring waktu, mereka tumbuh. Dayang jadi wanita cerdas, tangguh, dan menawan. Bujang  tetap Bujang , pria yang pendiam tapi selalu ada saat Dayang butuh. Hubungan mereka tetap hangat, meski tak lagi seperti anak-anak. Tidak lagi ada hujan-hujanan sembarangan. Tapi setiap rintik hujan, setiap senja yang jingga, selalu membawa mereka kembali pada kenangan.

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Lalu, datanglah kabar itu. Dayang diterima kerja di Jakarta. Kesempatan besar. Impiannya sejak lama.

Bujang  tersenyum saat Dayang bercerita. Tapi senyum itu getir. Sesuatu di dalam hatinya mencelos.

Hari itu, Dayang datang dengan mantel cokelat muda dan syal biru. Rambutnya digerai, basah di ujung-ujungnya. Ia menatap Bujang  yang duduk di bangku kayu tepi danau. Senyumnya hangat, tapi matanya tampak sembunyikan sesuatu.

“Masih suka hujan?” tanya Dayang sambil duduk di sebelah Bujang .

Bujang  mengangguk. “Hujan itu… selalu bikin aku ingat kamu.”

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Dayang tertawa kecil. “Dulu kamu paling benci main hujan, inget gak?”

“Aku cuma pura-pura benci. Biar kamu maksa ngajak aku main bareng,” jawab Bujang  pelan.

Dayang terdiam. Hujan masih turun. Senja mulai merayap, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah jambu.

“Aku bakal kangen tempat ini,” ucap Dayang. “Dan kamu.”

Bujang  menoleh cepat, menatap wajah sahabatnya. Ia ingin bilang sesuatu. Sesuatu yang sejak lama terpendam.

Rumah Panjang, Luka Panjang

“Yang…” panggil Bujang  pelan.

“Hm?”

“Aku nggak tahu gimana cara ngomongnya. Tapi… aku nggak pengin kamu pergi. Maksudku… bukan cuma karena tempat ini akan sepi tanpa kamu. Tapi karena… aku takut kehilangan kamu.”

Dayang menoleh. Matanya mulai basah. “Aku juga takut, Ya. Takut kalau aku bilang apa yang aku rasain, semuanya berubah.”

Bujang  menatap dalam. “Kamu ngerasain yang sama?”

Dayang mengangguk pelan. “Sejak lama.”

Hening.

Hujan mulai reda. Tapi rintik kecil masih menetes di ujung daun.

Mereka saling menatap. Mata berbicara lebih banyak dari kata-kata. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Tapi di antara mereka, ada kejujuran yang akhirnya menemukan jalan.

“Aku tetap harus pergi, Bujang . Ini impian aku,” ujar Dayang, pelan tapi tegas.

“Aku tahu. Aku nggak akan cegah kamu. Tapi sekarang aku tahu, aku nggak cuma sahabat kamu. Dan kamu pun bukan cuma sahabat buatku.”

Dayang tersenyum. “Kita tunggu waktu. Kalau takdir memang baik, kita akan bertemu lagi. Di tempat ini. Di bawah hujan. Di senja yang sama.”

Bujang  mengangguk. “Aku akan tetap duduk di sini. Sampai saat itu tiba.”

Dayang berdiri. Ia menatap danau untuk terakhir kalinya, lalu melangkah pergi. Bujang  tak mengejarnya. Ia hanya memandangi punggung yang perlahan menghilang di balik jalanan basah.

Hujan benar-benar berhenti. Senja membentang sempurna. Dan di tengah keheningan, Bujang  tersenyum kecil.

Ia tidak lagi takut.

Karena untuk pertama kalinya, cinta dan persahabatan berjalan beriringan. Walau untuk sementara harus berjarak, hati mereka telah bertemu di antara hujan dan senja.

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan