Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Jalan Pulang yang Terjebak

Jalan Pulang yang Terjebak

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Tak ada yang menyangka, pagi itu di rumah betang, yang biasanya riuh oleh sendok beradu dengan piring dan tawa hangat seperti embun di ujung daun, justru diawali dengan kabar lebam di rusuk dan cerita motor yang mencium aspal dengan mesra. Her datang terlambat, menyeret langkah seperti membawa sisa semalam yang enggan pergi. Di wajahnya, tersisa gurat lelah yang belum sempat dibungkus tidur. Biasanya ia datang segar, kadang dengan cerita lucu. Tapi pagi itu, yang datang bersamanya adalah diam, pelan, dan nyeri yang samar.

Rupanya, mobil andalan yang biasa mengantar ke mana saja kini jadi tawanan kampung, terjebak dalam lumpur yang lengket bak kenangan yang enggan dilepaskan. Hujan yang mengguyur sepanjang malam telah menenggelamkan jalan setapak, dan memaksa Her kembali ke kota dengan sepeda motor merahnya. Sayangnya, motor itu tak mampu berdamai dengan licinnya tanah, dan tubuh Her harus menanggung akibatnya.

Ia duduk perlahan di meja sarapan, meringis kecil saat punggungnya menyentuh sandaran kursi. Cukup untuk membuat semua menoleh.

“Ada apa, Her?” tanya Andi, si tukang usil, tapi nada suaranya kali ini lebih lembut dari biasanya.

Her hanya tertawa tipis. “Cuma jatuh dari motor. Kayaknya rusuk kena benturan.”

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

“Ya ampun!” seru Lajan. “Kenapa nggak pakai mobilmu?”

Sambil mengambil secuil pisang goreng, Her menghela napas panjang. “Mobil aku bawa ke kampung minggu lalu. Ada acara keluarga. Tapi sampai sekarang belum bisa balik. Jalanannya penuh lumpur. Ban mobil selip terus. Akhirnya kutinggal di sana.”

“Makanya jangan terlalu percaya sama musim kemarau. Kalimantan itu suka bercanda,” seloroh Riko sambil menyeruput kopi yang kini terasa lebih hangat dari biasanya.

Her tersenyum kecil. Wajahnya menyimpan kelelahan, tapi juga semacam kelegaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di balik luka di rusuk dan baju yang masih bau tanah basah, ia menyimpan sesuatu yang lebih penting—momen langka di kampung, saat ayahnya tertawa lebar setelah lama terbaring sakit, dan ibunya menyajikan semangkuk sayur asam dengan wajah penuh cinta.

“Aku sih jatuh nggak masalah,” ujarnya tiba-tiba, suaranya pelan namun dalam. “Yang penting sempat ketemu orang tua, meski cuma semalam.”

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Seisi meja mendadak hening. Roti di tangan Lajan tergantung setengah, kopi Riko berhenti di bibir cangkir. Semua tahu, kata-kata Her bukan sekadar pembelaan atas sakit yang dirasa. Itu adalah pengakuan jujur—bahwa ada perjalanan yang jauh lebih penting dari rutinitas harian atau kenyamanan kendaraan.

Perjalanan pulang. Meski melewati lumpur, hujan, dan jalan sempit, perjalanan itu membawa pulang sesuatu yang tak bisa digantikan: kasih, tawa, dan rasa pulang yang sesungguhnya.

Dan pagi itu, rumah betang kembali hangat. Bukan karena nasi goreng di atas meja, tapi karena kisah sederhana yang menyentuh: bahwa luka di rusuk pun bisa terasa ringan, selama hati tetap kuat menempuh jalan pulang sembari menikmati sesi pelatihan yang di ikutinya.

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan