Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Oleh: ASH

Di bawah kanopi hutan hujan yang tebal—di mana cahaya pagi bagai serpihan emas yang lolos dari celah dedaunan—berdiri sebatang pohon tembawang tua. Kulit batangnya retak‑retak seperti peta rahasia, getahnya menguar aroma pahit yang memanggil lebah dan kenangan. Hutan ini, Keling Kumang Forest, adalah halaman hidup bagi Ampong: lelaki Dayak berbahu lebar, berkulit sawo matang, dan bermata tenang seperti permukaan Danau Sentarum ketika senja tak berniat beranjak. Ia menjaga rimba itu sebagaimana seseorang menjaga rahasia—dengan setia, tanpa jeda, dan lebih menggunakan hati ketimbang kata.

Sania tiba bersama rombongan study tour sekolahnya pada suatu pagi akhir Juli. Gadis kota berwajah porselen itu mengenakan kacamata hitam berbingkai keemasan, sweatshirt desainer, dan sepasang sepatu putih menyala yang tampak gentar bersentuhan dengan tanah becek. Langkahnya cepat; dagunya terangkat seakan ingin menebas udara. Hidungnya mengenali bau humus sebagai sesuatu yang asing, barangkali juga mengganggu. Ia lahir di atas aspal, tumbuh di bawah lampu neon, dan hari ini terdampar di padang hijau tak bertepi.

Ampong menyambut mereka di gerbang kayu. “Selamat datang di hutan kami,” ujarnya lirih namun jelas. Ketika mata Sania bertemu miliknya, ia hanya mengangguk—wajahnya datar seperti layar ponsel yang baru saja dimatikan. Dalam hati, Ampong berkata, angin kota berbeda dengan angin rimba; keduanya akan berdansa juga pada waktunya.

Perjalanan dimulai. Ampong membimbing kelompok itu meniti jalan setapak berpasir lembut, memperkenalkan pohon ulin yang teguh, rotan yang luwes, dan lumut yang menyelimuti batu seperti selimut yang sabar. Sania—meski masih mengaduk-aduk keangkuhan di dadanya—tak dapat menolak keindahan panorama hijau yang mendekap mereka seperti genggaman ibu. Ada detik‑detik ketika ia diam‑diam menahan napas, takut kecantikannya pecah oleh suaranya sendiri.

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Tiba di sebuah sungai kecil, Ampong melontarkan cerita tentang roh‑roh air yang konon menjaga kejernihan aliran. “Kalau kalian membuang sampah di sini,” katanya sambil menatap Sania yang mengunyah permen karet, “air akan menyimpan dendam sebesar riam.” Sania mendengus kecil, menertawakan takhayul yang baginya serancu pesan berantai di grup keluarga. Tetapi entah kenapa, ia melipat bungkus permen karet itu dan menyimpannya di saku hoodie.

Matahari merambat ke ubun‑ubun langit. Rombongan tiba di jembatan kayu sempit yang melintang di atas parit berlumpur. Pada pangkal jembatan berdiri pohon tembawang, daunnya lebat bagai payung hijau yang dijadikan langit‑langit. Batang pohon itu ditempeli papan sederhana bertuliskan:

Jalan sama dia, menikah sama aku.

Sania mengerutkan alis. “Ah, apaan ini? Kata‑katanya alay banget,” ujarnya, nada suaranya campuran geli dan jijik.

Ampong menggaruk tengkuk, tersipu. “Maaf, Kak… itu ide saya.” Udara seketika diam, seakan burung pun enggan mengepak. Sania tak membalas; ia sekadar memutar bola mata dan melangkah melewati jembatan, bunyi sepatunya terdengar kontras—ketukan modern di lantai purba.

Rumah Panjang, Luka Panjang

Sejak itu diam menjadi benang tipis yang menjerat mereka. Ampong hanya bicara saat wajib, Sania mendengarkan tanpa sungguh‑sungguh. Namun diam macam embun: lambat laun meneteskan sesuatu yang tak terduga. Pada sisa sore, ketika rombongan asyik berswafoto di spot foto wajib tulisan Keling Kumang Forest di samping danau, Sania menepi. Ia memerhatikan Ampong memungut plastik kresek yang hanyut; gerakannya hati‑hati, seolah plastik itu serpihan bulan yang jatuh.

“Kenapa repot amat?” tanya Sania dari jauh.

Ampong menengadah, keningnya basah peluh. “Hutan ini rumah saya. Saya tidak mau tamu pulang meninggalkan piring kotor.”

Kata‑kata itu menghantam Sania lebih keras dari hujan kota. Ia—yang biasa memerintahkan, terbiasa dilayani—merasa ada ruang di dadanya yang tiba‑tiba kosong, menunggu diisi. Malamnya, di pondok penginapan, ia terjaga mendengarkan nyanyian serangga. Suara hutan seperti orkestra tak terlihat, memainkan simfoni tentang waktu yang tidak pernah tidur.

Keesokan harinya, rombongan terpecah menjadi kelompok kecil untuk menjelajahi jalur berbeda. Sania, entah karena nasib atau peri hutan, kembali satu regu dengan Ampong. Mereka berjalan berdua ketika teman‑teman lain sibuk memotret pohon Asam Maram yang jarang mereka lihat di kota. Hujan ringan turun, menebarkan kabut. Sania terpeleset, lututnya tergores. Ampong menolong tanpa banyak tanya, menyobek kausnya sendiri untuk membalut luka.

Lantunan Doa yang Tak Kunjung Usai

“Kenapa?” isaknya pelan, tak jelas antara heran dan sakit.

“Di sini,” jawab Ampong, “selembar kain bisa lebih berguna daripada seribu kata maaf.” Metafora sederhana itu merayap ke relung batin Sania, menghancurkan tembok kesombongan bata demi bata.

Langkah mereka dilanjutkan dalam senyap, tapi kali ini senyap yang akrab, bagai dua buku yang berbeda namun disampul dalam warna yang sama. Di tepi rawa, Sania bertanya hal‑hal kecil: apakah Ampong selalu di hutan? Sudah berapa lama? Apakah ia tak bosan? Pertanyaan mengalir seperti air surut yang malu‑malu, sementara jawaban Ampong tenang, sederhana, namun kaya rempah rasa: ia bercerita tentang malam‑malam ditemani suara kelempiau, tentang mimpi melihat dunia tapi takut meninggalkan akar, tentang ibunya yang menenun kain pantang untuk dijual di kota.

Hari berganti. Rombongan harus pulang. Di depan loket, Sania menatap hutan seakan ingin mengingat pola tiap ranting. Ia menoleh pada Ampong. “Terima kasih,” katanya, suara bergetar seperti daun digelitik angin. “Tentang tulisan di pohon… mungkin tidak se‑alay yang kupikir.”

Ampong tersenyum. “Kalau Kakak mau, kapan‑kapan kembali. Hutan ini selalu menunggu.”

Tiga bulan berlalu. Sinyal ponsel Sania kini riuh oleh pesan Ampong, dikirim lewat jaringan yang sering patah. Mereka berbagi foto: Ampong mengirim gambar matahari terbit di balik tembawang, Sania membalas dengan foto langit kota berwarna jingga keabu‑abuan. Mereka berbeda, namun percakapan mereka tumbuh seperti akar saling mencari di bawah tanah—sunyi tapi kokoh.

Suatu ketika, Sania memutuskan kembali, kali ini sendirian. Ia membawa oleh‑oleh: buku puisi untuk Ampong. Sesampainya di hutan, ia mendapati Ampong berdiri di bawah pohon tembawang yang sama. Papan kayu bertuliskan kalimat itu sudah mulai pudar.

“Aku kembali untuk berjalan,” kata Sania pelan.

“Apakah harus sampai menikah?” goda Ampong, tapi wajahnya menyimpan cemas.

Sania menatap lurus ke matanya. “Belum tahu. Tapi aku tidak keberatan membaca lagi peta yang kau lukis.”

Hari‑hari berikutnya berubah jadi bab baru. Mereka menghabiskan waktu menyusuri jalur rahasia, belajar memasak pucuk paku, berbicara dalam bahasa yang kadang hanya dimengerti daun. Namun cinta, sebagaimana air terjun, tak selalu jatuh tanpa bebatuan. Kabar menyebar ke kota: putri keluarga Hartana—konglomerat properti—jatuh hati pada penjaga hutan. Ayah Sania murka, menganggap ampong hanya paras tampan yang tak berisi rekening. Sementara itu, di desa, bisik‑bisik lahir: Ampong sudah lupa akar, memetik bunga di taman orang.

Ampong terbelah antara kebanggaan dan rendah diri. Ia mencintai Sania bagai hutan mencintai hujan—tanpa hujan, hutan meranggas; tanpa hutan, hujan kehilangan simfoni. Namun ia juga takut menjadi layang‑layang putus—terbang sebentar, jatuh tak tentu arah.

Suatu malam bulan purnama, mereka duduk di jembatan kayu. Air di bawah berkilau seperti kaca retak. “Kalau keluargamu menolak,” ucap Ampong, “biar aku yang mundur. Aku tidak mau kau memilih jalan berlumpur.”

Sania menggenggam tangannya. “Cinta bukan jalan beraspal mulus, tapi aku bersedia berjalan tanpa sepatu.”

Dari kegelapan, seekor burung hantu menjerit—seperti pertanda atau doa. Mereka berpandangan; rasa takut terjalin dengan keberanian, seperti siang dan malam saling mengejar.

Hari penentuan tiba. Keluarga Sania memanggilnya pulang, menyiapkan makan malam mewah bertaplak sutra. Ayahnya menawar: “Jika kau bersedia melupakan dia, satu cabang hotel di Singapura akan menjadi milikmu.” Janji kemewahan bergema di tembok marmer, tapi Sania hanya teringat pada balutan kaus robek di lututnya kala itu—penjelasan cinta yang paling jujur.

Di hutan, Ampong berkemas, berniat pergi jauh. Ia menulis surat pada Sania: Aku mencintaimu seperti akar mencinta tanah—tak terlihat, tapi memegangmu dari dalam. Jika dunia tak mengizinkan, biar aku menjadi tanah tanpa nama. Ia menancapkan surat itu di batang tembawang di bawah papan tua.

Malam berikutnya, ketika Sania akhirnya kembali, ia menemukan tembawang itu sunyi. Papan tulisan telah diganti. Kini terbaca:

Jalan sendiri, temukan dirimu.

Sania memungut surat. Membacanya, ia menangis tanpa suara. Di balik isak, ia menyadari: Ampong tidak kabur; ia sedang membuka jalan agar cinta mereka tidak memenjarakan salah satu pihak. Bagaimana mungkin burung merdu mengajari ikan bernyanyi di pohon?

Plot twist pun berputar: beberapa bulan kemudian, ketika Sania memutuskan berhenti dari perusahaan keluarganya dan mendirikan lembaga konservasi kota‑rimba, ia datang lagi ke Keling Kumang Forest. Tapi Ampong tak di sana. Ia telah mendaftar menjadi ranger di taman nasional jauh di Kalimantan Timur—mencoba menaklukkan rasa rendah diri dengan ilmu. Sania tersenyum getir; ini bukan akhir yang diharapkannya, namun ia memahami: kadang cinta harus berjarak agar tumbuh tinggi.

Ia memeluk batang tembawang dan berbisik, “Aku akan mencarimu, tapi sambil mencari diriku.” Lalu ia menambahkan papan baru di bawah tulisan Ampong:

Jika jalanmu lurus, kita bertemu di ujung. Hutan pun diam, lalu menghembuskan angin sejuk, seakan mengatakan: pertemuan berikutnya tak bisa ditebak manusia, sama halnya dengan kapan bunga tembawang berbuah—tapi keduanya selalu sarat makna hidup.

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan