Kabut pagi masih menyelimuti ladang di pinggiran sebuah kampung kecil. Embun menetes dari ujung ilalang, sementara ayam jantan saling bersahutan membangunkan hari. Di antara suara alam itu, dua pasang kaki melangkah mantap menyusuri jalan tanah yang masih basah. Arin dan Budi, teman sekampung sejak kecil, membawa ransel sederhana dan tekad yang tak kalah berat.
“Rin,” ucap Budi sambil mengusap keringat di dahinya, “kadang aku masih nggak percaya kita beneran ke kota buat jadi Aktivis.”
Arin tertawa pelan. “Kita juga belum sampai, Bud. Tapi kalau Keling Kumang mau terima kita ikut pelatihan, itu tandanya mereka percaya ada semangat dalam diri kita.”
Budi mengangguk. Mereka tidak hanya membawa harapan pribadi, tapi juga suara kampung kecil mereka—suara para ibu yang menganyam tikar, para bapak yang bertani di lahan sempit, dan anak-anak yang berlari tanpa alas kaki tapi bermata penuh mimpi.
Sesampainya di kantor pusat Keling Kumang, mereka langsung disambut para Aktivis senior. Arin dan Budi ditempatkan di pelatihan yang berbeda—Arin masuk kelompok keuangan dan pemberdayaan perempuan, sementara Budi ikut pelatihan pertanian dan koperasi produksi.
“Kenapa kita dipisah ya?” tanya Budi saat mereka makan malam bersama.
“Kebijakan organisasi,” jawab Arin. “Di Keling Kumang, Aktivis itu harus bisa berdiri sendiri. Katanya, supaya hubungan pribadi nggak ganggu kerja lapangan.”
Budi tersenyum setengah. “Berarti kita bukan cuma teman sekampung, tapi juga rekan perjuangan yang jalannya beda, ya?”
Mereka tertawa kecil. Meski jarang bertemu selama pelatihan, keduanya saling berbagi cerita lewat catatan kecil dan pertemuan singkat di dapur umum. Hari demi hari, pelatihan mengubah mereka. Dari pendengar menjadi pembicara. Dari pengikut menjadi penggerak.
Suatu malam, Arin diminta membantu fasilitator mengadakan pelatihan di Rumah Pintar.
“Arin,” tanya seorang ibu, “apa kita bisa mulai usaha walau modalnya kecil?”
“Kita bisa mulai dari niat, Bu,” jawab Arin. “Modal itu penting, tapi keberanian dan kebersamaan itu lebih dulu.”
Di tempat lain, Budi mengajar pemuda desa menanam sayur dengan sistem organik.
“Kita bukan cuma tanam buat makan, tapi juga untuk bangun ekonomi,” ucap Budi sambil memegang cangkul. “Kalau hasilnya cukup, kita bisa jual lewat koperasi.”
Setelah tiga bulan pelatihan, Arin dan Budi diundang mengikuti Temu Raya Aktivis Keling Kumang. Ratusan Aktivis dari berbagai penjuru Kalimantan hadir. Arin didaulat berbicara di forum utama.
Ia berdiri gugup, tapi begitu melihat wajah-wajah penuh semangat di hadapannya, suara hatinya mengalir.
“Saya Arin, dari Kampung Pelaik. Dulu saya pikir saya kecil dan tak penting. Tapi setelah menjadi bagian dari Keling Kumang, saya sadar: satu langkah kecil kita bisa jadi nyala harapan bagi banyak orang. Kami adalah jiwa Keling Kumang. Kami berdiri bukan untuk diri sendiri, tapi untuk membawa terang bagi yang lain.”
Tepuk tangan membahana. Di antara kerumunan, Budi menunduk sebentar, menahan air mata bangga.
Beberapa minggu kemudian, mereka kembali ke kampung masing-masing. Arin membantu membentuk kelompok ibu-ibu pengrajin, sementara Budi menggerakkan pemuda membentuk kelompok tani mandiri. Mereka tak lagi hanya dikenal sebagai anak kampung, tapi sebagai Aktivis yang menyalakan semangat baru.
Di pertemuan warga, Arin berkata, “Kami pulang bukan untuk menggurui. Kami hanya ingin berbagi apa yang kami pelajari. Mari kita bangun kampung ini bersama, dengan tangan dan hati kita sendiri.”
Warga mengangguk. Dari sana, perlahan lahir perubahan. Warga mulai menabung di CU, menjual hasil tani melalui koperasi, anak-anak ikut kelas komputer sore hari, dan ibu-ibu mengirim produk kerajinan ke galeri koperasi di kota.
Suatu sore, Arin dan Budi duduk di pinggir sawah, memandangi matahari yang turun di balik bukit.
“Bud,” kata Arin sambil menyandarkan tubuh ke batang kelapa kecil, “kau pernah nyesal nggak, ninggalin kampung sementara waktu buat ikut jadi Aktivis?”
Budi menggeleng. “Nggak pernah. Karena saat kita pulang, kita bawa sesuatu yang lebih penting dari uang.”
“Yaitu?”
“Harapan.”
Arin mengangguk pelan. Angin sore menggerakkan daun-daun, seolah ikut mengamini.
“Kita adalah jiwa Keling Kumang, Rin,” tambah Budi.
“Dan selama jiwa itu hidup, kampung kita nggak akan pernah padam,” sahut Arin.
Komentar