Oleh: SYP
“ Kisah tentang cinta yang tidak memilih memiliki, melainkan merelakan demi panggilan yang lebih tinggi.”
Kabut masih menggantung malas di atas Kampung Ukit, mengulum waktu dalam kelembapan yang tenang. Rumah betang memanjang seperti cerita leluhur yang tak pernah habis dituturkan. Di sepanjang tepinya, dua anak kecil—Nara dan Danum—berlarian sambil tertawa, suara mereka membelah pagi seperti doa yang dipanjatkan dari dalam dada.
Bagi mereka, usia tujuh adalah surga. Sungai adalah jalan cahaya tempat petualangan mengalir. Hutan adalah rahim semesta yang mengajarkan diam dan keberanian. Dan krubik—serangga kecil berwarna cerah yang sembunyi di celah batu—adalah permata dunia.
“Nara, cepat! Krubiknya sembunyi di balik batu ini!” seru Danum. Matanya bersinar, pipinya berembun pagi.
“Jangan sampai dia kabur!” sahut Nara. Mereka menyelam, dan saat kepala mereka bertubrukan, Danum spontan menjambak rambut Nara. Tertawa. Kesal yang manja.
Itu hari-hari yang tidak tahu patah. Hari-hari ketika cinta belum punya nama, tapi sudah menetap di antara debur sungai dan langkah-langkah kecil di tanah basah.
Namun pagi tak pernah bisa dipeluk selamanya.
Dalam sekejap, Nara menghilang—dibawa arus kehidupan yang lebih besar dari tawa anak-anak. Orang tuanya harus ke Pontianak, mengurus kerabat yang sakit. Nara pergi tanpa pamit panjang, hanya peluk buru-buru dan senyum setengah jadi.
Danum sempat menunggu. Tapi waktu punya cara menghapus nama dari dinding hati. Ingatan tentang Nara menjadi kabur, seperti embun yang lenyap begitu matahari menganga.
Lima Belas Tahun Kemudian
Langit di atas Institut Teknologi Keling Kumang masih biru seperti biasa, namun kini dihiasi bangunan megah dengan tujuh pilar menjulang. Di tengah taman berbunga bungur ungu, berdirilah patung Keling dan Kumang—dua nama mitologi Dayak yang kini hidup dalam semangat generasi muda.
Nara, kini lelaki dewasa berusia dua puluh dua, berjalan cepat menuju perpustakaan. Di tangannya tergenggam sketsa rumah betang modern—karya cintanya pada masa kecil yang tak ingin ia kubur.
Saat ia melewati sebuah pohon tua, matanya menangkap sosok yang membuatnya nyaris menjatuhkan sketsa.
Seorang perempuan duduk bersandar, wajahnya tenang membaca buku doa. Kerudung abu-abu pucat membingkai wajah yang… menggetarkan masa lalu. Ada lesung pipi di sana. Ada rahang yang mengingatkannya pada matahari pagi di Kampung Ukit.
“Danum?” bisiknya, nyaris tak percaya.
Ia ragu, tapi akhirnya melangkah mendekat, seperti ziarah yang menemukan arah.
“Permisi… Namamu Danum?”
Perempuan itu mendongak. Sejenak matanya membeku, lalu melunak dalam keterkejutan yang lembut.
“Kita… pernah kenal?”
“Kampung Ukit. Krubik. Sungai. Kau jambak rambutku saat aku menutupi batu.”
Danum menutup bukunya perlahan. Senyum muncul. “Nara…”
Tawa pun meledak kecil. Canggung, tapi jujur. Dunia seolah berputar ulang, mengembalikan serpih-serpih yang lama hilang.
Hari-hari berikutnya dipenuhi tawa baru dan nostalgia lama. Mereka makan siang bersama, bercerita tentang masa kecil, membandingkan kenangan yang ternyata tetap hidup meski sempat tertimbun.
Namun Nara merasa ada sesuatu yang tidak terucap—seperti kaca tipis antara dua dunia. Danum selalu hadir, tapi juga selalu setengah pergi. Ia tak pernah bicara tentang esok.
Hingga suatu senja, Nara memecah diam.
“Kenapa kau selalu menghindar saat aku bicara tentang masa depan?”
Danum terdiam lama. Lalu dengan suara tenang namun getir, ia menjawab, “Aku seorang postulant, Nar. Aku sedang dalam proses membaktikan diri. Calon suster.”
Seperti daun kering yang patah di hening hutan, hati Nara retak tanpa suara.
“Jadi… semua ini hanya nostalgia buatmu?”
“Tentu tidak.” Mata Danum berkaca. “Tapi aku tidak bisa hidup di dua dunia.”
Masuklah Tobias. Mahasiswa teologi semester akhir yang lembut tutur katanya, dalam mata pandangnya. Ia dan Danum bertemu di kapel kampus.
“Kamu yakin masih ingin jadi suster?” tanya Tobias, setelah mendengar tentang Nara.
“Aku… ragu.” jawab Danum lirih. “Bertemu Nara membuatku… bertanya lagi.”
Tobias mengangguk pelan. “Mungkin Tuhan sedang menawarkan jalan lain. Tidak semua panggilan harus berarti biara. Cinta juga bisa jadi bentuk pelayanan.”
Di tempat lain, Nara bertemu Tobias. Ketegangan terasa meski tersamar senyum.
“Kau mau menyelamatkannya dari aku?” tanya Nara dengan nada tajam.
Tobias menggeleng. “Bukan menyelamatkan. Hanya menjaga agar ia tidak kehilangan Tuhan karena masa lalu.”
Hari Kamis yang hening, Danum menemui suster pembimbingnya. Udara terasa berat.
“Suster, aku bertemu seseorang. Aku bingung. Aku ragu.”
Suster menatapnya dalam. “Danum, panggilan bukan sekadar tidak menikah. Itu memberi seluruh hidup. Kalau hatimu masih terbagi, jangan lanjutkan hanya karena takut mengecewakan.”
Dan akhirnya, pagi Minggu yang sejuk membawa keputusan yang berat.
Nara berdiri di terminal bus, tangan gemetar menggenggam surat yang baru ia terima.
“Nara, aku tetap melanjutkan panggilanku. Aku memilih bukan karena menolakmu, tapi karena aku tahu, panggilan bukan tentang siapa yang kita tinggalkan, tapi siapa yang kita tuju. Aku mencintaimu. Tapi aku mencintai Tuhan lebih dulu. Maafkan aku. —Danum.”
Bus tiba. Tapi Nara tak naik. Ia hanya berdiri, seperti pohon yang menolak cabut akarnya, meski angin datang dari segala arah.
Waktu kembali menjadi tabib luka.
Beberapa minggu berlalu. Nara tak mencari Danum lagi. Tapi ia juga tak bisa berhenti memikirkan surat itu.
Suatu hari ia mendatangi seorang romo tua di gereja kecil dekat kampus.
“Aku kehilangan sesuatu, Romo. Tapi aku tak bisa membencinya.”
Romo hanya menatap, lalu bertanya, “Sudahkah kau bertanya pada Tuhan… apakah kehilanganmu juga sebuah panggilan?”
Tiga Tahun Kemudian.
Di sebuah rumah betang bernama Buah Main, yang berdiri teduh di tanah Tapang Sambas–Tapang Kemayau, waktu seolah berjalan lebih lambat, seakan ingin memeluk setiap kenangan yang tertinggal di tiang-tiang kayu ulin yang renta namun kokoh. Rumah betang itu bukan sekadar bangunan, melainkan gema dari semangat solidaritas para jiwa yang tergabung dalam Keling Kumang Movement Network—mereka yang percaya bahwa hidup adalah tentang memberi ruang bagi sesama untuk bertumbuh dalam martabatnya sendiri.
Di sinilah Nara menetap, tak lagi sekadar sebagai perancang rumah, tetapi sebagai pengukir makna di hati para mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Keling Kumang. Ia mengajar dengan suara tenang dan tangan yang tak ragu menuntun, seolah setiap garis sketsa adalah bagian dari doa yang ingin diwujudkan menjadi nyata.
Di lehernya tergantung salib kecil yang dianyam dari rotan hutan—sederhana, namun penuh makna. Itu bukan hanya lambang iman, tetapi pertanda sunyi bahwa ia pun telah memilih jalan yang tak riuh oleh cinta dunia, melainkan jalan panjang yang sunyi: jalan pengabdian, jalan doa.Ia tak menjadi pastor. Tapi ia hidup dalam pengabdian.
Suatu sore, seorang tamu datang. Ia membawa surat.
“Kita tak pernah punya rumah bersama, Nar. Tapi kau membangun banyak rumah untuk orang lain. Aku tahu, kita dipanggil untuk hal yang sama: mencintai tanpa memiliki.” —Danum.
Nara menatap langit yang dipenuhi awan bergerak. Angin bertiup dari arah hutan, seakan membawa bisik doa yang tak pernah selesai.
Ia tersenyum. Dalam kesendirian itu, ia merasa ditemani.
Ia tahu: ia hidup selibat bukan karena patah hati, tapi karena dari kehilangan ia belajar menemukan. Ia membangun, bukan untuk dirinya, tapi untuk banyak anak yang kelak akan memiliki tempat berpulang.
Kadang cinta bukan untuk digenggam, tapi untuk ditinggikan menjadi doa.
Kadang panggilan sejati justru ditemukan dalam kehilangan yang tak dilawan.Dan ketika dua hati berjalan dalam arah berbeda tapi menuju Tuhan yang sama, cinta itu tetap suci—dan tak pernah selesai.
Komentar