Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Rumah Panjang, Luka Panjang

Rumah Panjang, Luka Panjang

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Oleh: SYP

“ Ironi antara rumah sebagai tempat perlindungan dan luka yang dibawa oleh penghuninya”

Kabut masih menggantung malas di sela-sela dedaunan rimba yang hijau kelam. Matahari belum sepenuhnya bangun, seolah memberi waktu lebih panjang bagi hening untuk berdiam. Di antara desir angin yang membawa harum tanah basah dan rintik embun yang mengendap di ujung dedaunan, melangkah seorang lelaki dengan tubuh setengah membungkuk. Her namanya.

Langkah-langkahnya menyusuri jalan setapak menuju Rumah Betang Buah Main—sebuah rumah panjang Dayak yang kini lebih sering disesaki percakapan digital daripada dongeng tua para tetua. Suasana pagi di rumah itu berbeda dari cerita-cerita nenek moyang: bukan gemuruh gong atau dendang sape, melainkan derik keyboard dan suara video call yang tak mengenal waktu.

Ketika Her sampai di tangga kayu tua yang telah dipahat waktu, dunia terasa menahan napas. Suaranya tak lebih dari desir, tetapi keberadaannya menggeser ruang. Mereka yang semula tenggelam dalam layar—laptop, ponsel, dunia tanpa tanah—mulai mengangkat kepala. Her, yang biasanya datang dengan tawa renyah seperti air sungai mengalir, kini hadir membawa keheningan. Ia adalah kabut yang menyusup ke dalam rumah, mengaburkan batas antara canda dan luka.

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Her duduk perlahan, wajahnya tertarik perih, tangan kirinya menekan sisi rusuk dengan lembut namun pasti, seolah menahan rasa yang tak bisa disebutkan. Tak perlu banyak kata untuk tahu bahwa tubuhnya sedang bersitegang dengan luka. Sunyi mengisi sela antara napas dan detak. Hingga suara Liwai, perempuan dengan mata tajam dan hati yang hangat, memecah diam.

“Ada apa denganmu, Her? Rusukmu kenapa?”

Her mengangkat wajahnya, pelan seperti mata air yang nyaris beku. Sebuah senyum pahit menggantung di sudut bibirnya, lebih menyerupai garis luka daripada kebahagiaan. Ia menunduk, lalu menjawab dengan suara yang begitu halus, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.

“Aku jatuh dari motor, Wai.”

Bisik-bisik pun menggeliat. Seperti benih nyinyir yang tumbuh di sela tanah basah, desas-desus pun mulai menyebar. Her mendengar jelas suara Iwan yang membisik kepada Herman, seakan Her telah menjadi tokoh dalam panggung gosip.

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

“Her ‘kan punya mobil. Kok bisa jatuh dari motor?”

Her menoleh. Suaranya tak marah, hanya letih. Matanya menyimpan bayangan jalan setapak, genangan lumpur, dan batu yang tak pernah jinak. Ia menarik napas panjang, lalu menuturkannya seperti seseorang yang tengah membacakan riwayat duka.

“Mobilku tertahan di kampung. Jalan longsor. Aku jalan kaki, sejauh bisa kutempuh. Baru kutemui ojek yang bersedia antar. Tapi di tengah jalan, motor kami disambar tossa. Aku terhempas, rusuk membentur stang.”

Kata-katanya jatuh seperti dedaunan kering: tak berbunyi, tapi cukup mengguncang hati yang peka. Iwan tertunduk. Diam-diam, ia menyesali gumamnya sendiri yang telah menyusup ke telinga luka.

Ia melangkah, mendekat, dan menepuk pelan bahu Her, seperti meminta maaf tanpa kata. “Maaf, Her. Bersabarlah. Kadang hidup membawa kita ke tikungan tajam tanpa aba-aba. Ayo, kita ngopi dulu.”

Lantunan Doa yang Tak Kunjung Usai

Her mengangguk, meski nyeri tetap bertahan di tubuhnya. Ia bangkit dibantu Iwan, melangkah perlahan ke arah dapur rumah betang, tempat aroma kopi menguar dan kenangan bersarang. Di belakang mereka, suara ketikan kembali bergema. Hidup memang terus berjalan, bahkan ketika seseorang terseok-seok di tepinya.

Di dapur, Her duduk di bangku kayu, dikelilingi bau kopi, kayu bakar, dan sesekali, kenangan akan ibunya yang dulu biasa merebus air di periuk tanah liat. Iwan menuangkan kopi ke dalam cangkir yang sudah tua, warnanya retak-retak seperti tanah kemarau.

“Jalan longsor lagi, ya?” tanya Iwan.

Her mengangguk. “Tak ada yang bisa lewat. Jangankan mobil, sepeda pun tak selamat dari lumpur. Tanah di sana seperti ingin menelan segala yang datang.”

“Kenapa tak tinggal dulu di sini? Sampai badanmu pulih.”

Her diam. Pandangannya menerobos jendela kecil, menatap hutan yang menggigil dalam kabut. Ia tidak hanya menimbang tubuhnya yang memar, tapi juga beban tak kasat mata yang dibawanya.

“Ayahku sakit. Ibuku tak lagi kuat menimba air. Di kampung, satu orang bisa jadi segalanya. Kalau aku tinggal, siapa yang akan menyalakan lampu di malam hari? Siapa yang akan menjaga ayah dari lupa? Bahkan seekor anjing pun butuh teman di malam yang terlalu senyap.”

Iwan terdiam. Kata-kata Her mengalir seperti air sungai yang membawa dedaunan luka, jujur dan tak terbendung. Mereka menyeruput kopi dalam diam, membiarkan pagi melanjutkan pertunjukannya sendiri.

Beberapa hari berlalu. Her tetap di Rumah Betang, meski tubuhnya menolak kerja. Ia lebih banyak duduk di serambi, menatap kabut yang datang dan pergi, seolah mencari sesuatu yang tertinggal dalam hutan. Para penghuni rumah betang kembali pada rutinitas: rapat daring, kirim laporan, coding, desain, bisnis. Dunia terus berputar, kadang terlalu cepat, hingga tak sempat menoleh ke belakang.

Tapi Her tetap jadi siluet yang menyelinap di tiap pagi. Kadang, ia mengajak anak-anak kecil kampung bermain suling bambu. Kadang, ia hanya duduk sambil menenun pikiran, mengurai luka dalam benang sunyi.

Lalu datanglah suatu pagi. Hujan baru saja reda. Tanah masih lengket dan licin, aroma daun basah memenuhi udara. Her berdiri di pelataran, siap untuk pulang. Luka di rusuknya belum benar-benar sembuh, tapi hatinya tak bisa tinggal diam lebih lama. Ia membawa tas kecil, penuh dengan obat dan cerita.

“Her, kau yakin mau pulang hari ini?” Liwai bertanya. Di tangannya ada buntalan nasi dan telur asin.

Her mengangguk. “Ayah butuh aku. Dan aku butuh pulang. Luka di tubuhku tak seberapa, tapi rindu bisa membunuh pelan-pelan.”

Liwai menghela napas, lalu menyerahkan buntalan itu. “Bawa ini. Jalan belum tentu bersahabat, tapi setidaknya kau punya tenaga.”

Her tersenyum. Bukan senyum tawa, tapi senyum yang lahir dari rasa terima kasih yang dalam. Ia menyalami satu per satu penghuni rumah betang, lalu melangkah pergi, kembali ke rimba, ke jalan tanah, ke longsoran tak ramah, ke dunia tempat kasih lebih penting dari nyeri.

Pagi itu kembali senyap, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Di ruang tengah, para penghuni Rumah Betang kembali pada dunia maya mereka, seakan tak ada yang pergi, seakan Her hanya mimpi yang lewat sebentar. Tapi di dapur, secangkir kopi masih mengepul. Disiapkan oleh Liwai, untuk siapa pun yang mungkin datang membawa luka.

Sebab di rumah panjang itu, hidup tak selalu tentang kerja dan sinyal, tapi juga tentang mendengar cerita yang tak diucap, dan memahami duka yang tak diminta.

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan