Cerpen
Home » Blog » Cerpen » Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Tembawang Kenangan, Untukmu Aku Terbang

Ilustrasi Gambar Oleh AI

Langit kemarau di hulu Sungai Keruap berwarna tembaga. Debu menari bersama angin yang menyusuri kebun karet. Di atas batang kelapa tumbang, Jandir duduk diam, matanya menatap jauh ke hutan yang kian menipis. Ia menyesap sisa petang dengan pandangan kosong—seperti hidupnya yang dulu, sebelum tahu ke mana harus melangkah.

Dulu, setiap bulan Juni, ia menari di bawah tenda-tenda gawai, berpesta dengan tuak dan tawa palsu. Gawai, pesta syukur pascapanen, menjadi pelariannya dari kenyataan. Ia tamat SMA, wajah lumayan tampan, tinggi sebatas harapan, namun masa depannya … kabur. Ia hanya tahu satu hal: pergi dari satu kampung ke kampung lain saat ada pesta.

Namun, malam itu berbeda. Di tengah riuh gelak dan dentang gong, ayahnya duduk sendiri di sudut lumbung.

“Apa gunanya berpesta, kalau tanah tempat kita berpijak dijual sedikit demi sedikit?”

Kalimat itu menamparnya seperti cambuk. Malam itu, Jandir pulang dengan kepala dingin dan hati yang bergolak. Ia mulai ikut pertemuan warga, menyimak orang-orang dari kota bicara tentang tambang, hutan, dan hak tanah ulayat. Ia tak memahami semuanya, tetapi hatinya seperti disundut bara. Kampungnya sedang dijual perlahan oleh orang-orang berjas yang tak pernah tahu aroma pagi di ladang.

Jejak Tembawang di Antara Dua Kota

Saat LSM lokal datang membawa kabar tentang isu lingkungan, gerakan masyarakat, dan koperasi credit union, Jandir mengangguk—meski belum benar-benar mengerti. Namun, ia ikut pelatihan, belajar dari kertas lusuh dan semangat yang dibakar harapan. Tahun 2006, ia resmi magang di CU Keling Kumang. Ia belajar, mencatat, mengarsip, mengetik, menyimak. Perlahan, pemuda luntang-lantung itu berubah menjadi lelaki yang tahu arah.

Ketika mengembangkan CU ke wilayah Tebidah, Jandir bertemu Ela, gadis kampung tetangga yang memeluk senyum seperti matahari pagi. Rambutnya dikepang sederhana, suaranya lembut seperti arus sungai di musim hujan. Ia tak centil, tetapi setiap geraknya seperti doa yang tak terucap.

Mereka jatuh cinta dalam diam yang tak tergesa. Dalam tiap kunjungan kerja, Jandir menyempatkan mampir. Mereka duduk di bawah pohon durian tua, bertukar cerita tentang mimpi dan kampung halaman.

“Kalau kau sudah terbang tinggi,” kata Ela suatu sore, “jangan lupakan tanah yang mengajarimu berdiri.”

Jandir tersenyum.

Rumah Panjang, Luka Panjang

“Untukmu, aku akan terbang … tetapi tak akan lupa pulang.”

Namun, hidup tak pernah melaju lurus. Risa datang seperti angin malam: lembut, menggoda, dan sulit ditebak. Mereka rekan kerja di kantor. Risa cantik, rambutnya panjang, ucapannya lincah, dan matanya menyimpan kilau yang tak bisa dijelaskan.

Awalnya hanya bercanda. Lalu menjadi perhatian kecil. Lalu menjadi tanya yang ditunggu setiap pagi. Risa tak pernah bilang cinta, tetapi tatapannya menyusup seperti gerimis: diam-diam, tetapi membuat basah.

Jandir terseret dalam perasaan yang tak seharusnya. Ia mencintai Ela, tetapi Risa seperti bayang-bayang yang terus mengikutinya. Suatu malam, mereka duduk berdua di teras kantor setelah lembur.

“Kau tahu, aku ingin jadi rumah,” kata Risa pelan. “Tetapi aku selalu jadi persinggahan.”

Lantunan Doa yang Tak Kunjung Usai

Jandir tak menjawab. Dalam dadanya, badai berkecamuk. Ia tahu ia bersalah, tetapi juga tahu cinta kadang tak bisa dijelaskan.

Tahun 2007, Jandir melanjutkan kuliah, dimotivasi oleh pengurus CU yang berkata,

“Anak muda harus terbang lebih tinggi.”

Ia belajar sambil bekerja, berpindah dari satu kantor ke kantor lain. Waktu berjalan cepat, dan jarak perlahan mengikis kabar.

Ela tetap di kampung, menunggu dalam diam. Namun, cinta yang setia adalah cinta yang diuji oleh kesendirian.

Risa makin dekat, tetapi Jandir justru makin jauh dari dirinya sendiri.

“Aku tak bisa terus begini, Ris,” ucapnya suatu malam. “Aku mencintai Ela.”

Risa terdiam lama.

“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Aku hanya berharap … kau akan memilih aku.”

Ia tersenyum getir. Air matanya tak jatuh, tetapi luka tergurat jelas di wajahnya. Malam itu, Jandir merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah sepenuhnya ia miliki.

Tahun 2014, Jandir kembali ke kampung. Ia melamar Ela dengan hati yang lebih lapang dan cinta yang telah ditempa waktu.

“Aku bukan lelaki sempurna,” katanya di hadapan orang tua Ela. “Tetapi aku ingin jadi lelaki yang pulang.”

Pernikahan mereka sederhana, namun penuh doa. Tak ada pesta besar, hanya kerabat, keluarga, dan alam yang menjadi saksi. Di bawah pohon durian tua, tempat mereka dulu berteduh, Jandir mengikat janji suci.

Ela tersenyum.

“Kini kau benar-benar terbang, Dan.”

Jandir menggenggam tangannya.

“Untukmu, dan untuk tanah ini.”

Kini, Jandir masih bekerja di CU Keling Kumang. Ia bukan lagi pemuda penggila gawai yang mengejar pesta. Ia pria yang bangun pagi demi memberdayakan orang kampung, yang menjejak lumpur demi harapan, yang pulang untuk mencinta dan menciptakan perubahan.

Risa sudah menikah dan pindah ke luar kota. Kadang, Jandir mengingatnya, bukan dengan sesal, melainkan dengan doa agar ia bahagia. Ia percaya, setiap orang punya jalannya masing-masing.

Dan di malam-malam sunyi, saat bintang bersinar di atas Sungai Melawi, Jandir memeluk Ela dan berbisik,

“Aku telah belajar terbang … tetapi tetap memilih untuk tinggal.”

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tayangan Populer

Cerpen

Amelia, Si Dara Kumang Jelita

Illustrasi Bujang dan Dayang

Bujang dan Dayang: Antara Hujan dan Senja

Jalan Pulang yang Terjebak

Jiwa Keling Kumang

Bagikan